7VB

 

 

Logo Artikel

229 PERADILAN AGAMA FROM ZERO TO HERO

PERADILAN AGAMA : FROM ZERO TO HERO

PERADILAN AGAMA : FROM ZERO TO HERO

Oleh : Ahmad Khumaidi, S.H.I

Peradilan agama di Indonesia telah menapaki usia ke 130 tahun pada tanggal 1 Agustus 2012 silam, bertahan diusia yang terbilang tidak muda lagi bukanlah tanpa perjuangan. Jatuh bangun bahkan pembatasan wewenang telah dilalui peradilan agama dalam perjalanannya. Namun faktanya, sejarah panjang telah mengantarkan peradilan agama menjadi salah satu peradilan yang dikenal dunia, bahkan mampu berkiprah di dunia internasional. Kendati belum signifikan seperti yang diharapkan, namun keikutsertaan peradilan agama dalam pergaulan internasional sudah cukup membanggakan dan memberi nilai tambah bagi institusi induk sekaliber Mahkamah Agung. Untuk mengingat kembali sejarah perjuangan peradilan agama berikut penulis paparkan melalui kilasan singkat.

ERA KOLONIAL BELANDA

Kewenangan peradilan agama di era penjajahan Belanda belum memperlihatkan perannya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa itu. Salah satu penyebab mendasarnya tidak lain dikarenakan masyarakat dan kalangan ahli hukum belum memahami secara benar dan mendalam tentang kompetensi hukum Islam sebagai dasar dari penerapan peradilan agama. Sebagian  kalangan, bahkan diantaranya  merupakan kalangan muslim menangkap kesan kejam dalam konsep hukum Islam. Hal ini terlihat jelas dikala berbicara dalam konteks hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong tangan, rajam, dan qisas yang sekilas dinilai bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian. Dengan alasan tersebut dapat diketahui bahwa perkembangan peradilan agama sangat erat kaitannya dengan perkembangan agama Islam di Indonesia, dengan kata lain hukum Islam yang menjadi dasar dari penerapan peradilan agama di Indonesia tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan dan pemahaman masyarakat Indonesia tentang hukum Islam itu sendiri.

Kendati demikian, peradilan agama dimasa penjajahan Belanda bukanlah tanpa perkembangan. Keberadaan peradilan agama sedikit demi sedikit mengalami perubahan, dimulai dengan dibentuknya pengadilan agama yang baru disamping landraad (pengadilan negeri) dengan wilayah hukum yang sama dan kewenangan yang berbeda, pengadilan agama memutus perkara dengan dasar hukum Islam sedangkan landraad dengan dasar hukum adat.

Namun perkara yang menjadi wewenang pengadilan agama tidak sepenuhnya menjadi wewenang dari pengadilan agama. Dalam praktiknya, apabila terdapat tuntutan untuk pembayaran dengan uang maupun harta benda ataupun dengan barang tertentu, maka perkara akan diambil alih oleh landraad (pengadilan negeri). Hal ini tidak terlepas karena adanya kepentingan politik penjajah Belanda di Indonesia.

Pasang surut yang dialami peradilan agama dalam perkembangannya tidak membuat peradilan agama hilang ditelan masa, justru hal tersebut memberi efek pendewasaan bagi peradilan agama hingga mampu terus exis sampai saat ini.

ERA KEMERDEKAAN DAN ORDE LAMA

Tumbuh dan berkembangnya peradilan agama di Indonesia melalui jalan berliku mengantarkan peradilan agama pada era kemerdekaan. Pada awal tahun 1946 pemerintah Republik Indonesia membentuk Departemen agama yang berfungsi sebagai wadah pemersatu administrasi lembaga-lembaga  Islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional.

Adapun wewenang pengadilan agama / mahkamah syar’iyah menurut ketetapan pasal 4 PP No. 45 Tahun 1957 adalah sebagai berikut:

1)   Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam, dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum Agama Islam yang berkenaan dengan nikah, thalaq, ruju', fasach, nafaqah, maskawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut'ah dan sebagainya, hadhana, perkara waris-malwaris, waqaf, hibah, sadaqah, baitulmal.dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat taklik sudah berlaku.

2)   Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah tidak berhak memeriksa perkara-perkara yang tersebut dalam ayat (1), kalau untuk perkara itu berlaku lain daripada hukum Agama Islam.

Angin segar yang sempat membawa rona bahagia bagi peradilan agama kembali goyah, pasalnya dalam PP No. 45 Tahun 1957 ayat 1 Pasal 4 yang berisi kalimat “sepanjang hal itu merupakan hukum yang hidup”, kalimat mengambang tersebut menuai kontroversi dalam hal menentukan kewenangan yurisdiksi perkara warisan bagi mereka yang beragama Islam. Kalangan Hakim Peradilan Umum ada yang berpendapat bahwa hukum warisan yang hidup di masyarakat adalah hukum Adat, secara otomatis perkara sengketa waris adalah wewenang Pengadilan Negeri. Tetapi dari kalangan lingkungan Peradilan Agama mengklaim bahwa hukum warisan yang hidup di tengah-tengah masyarakat adalah hukum warisan Islam dan yang berwenang mengadili sengketa waris adalah Pengadilan Agama.

Kontroversi ini akhirnya menemui titik temu sejak disahkan dan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pada tanggal 29 Desember Tahun 1989 yang secara gamblang menyatakan semua peraturan Peradilan Agama yang lama tidak berlaku. Dengan demikian bagi setiap orang yang beragama Islam diperlakukan dan diterapkan hukum warisan Islam dimana saja dia berada dan kewenangan mengadili perkara yang timbul dalam bidang warisan tunduk kepada lingkungan Peradilan Agama.

SATU ATAP  DIBAWAH  MAHKAMAH AGUNG

Rentetan sejarah telah membawa peradilan agama menjadi sebuah lembaga hukum yang disegani baik dinegeri sendiri maupun didunia internasional. Hal ini tentunya berawal sejak diubahnya UU No. 35 tahun 1999 dengan UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.

Setelah resmi berada dibawah naungan Mahkamah Agung berdasarkan Keputusan Presiden No. 21 tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004, peradilan agama mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sarana prasarana, pembangunan gedung hingga kualitas sumber daya manusia terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Tak ayal, jika peradilan agama menjadi lembaga yang diharap mampu memberikan kotribusi bagi penegakan supremasi hukum Islam di Indonesia.

Tak hanya itu, peradilan agama juga diharapkan dapat terus memberikan kontribusi bagi kemajuan negara dengan melaksanakan kewenangannya dengan baik, meningkatkan kinerja, serta memberikan layanan prima bagi masyarakat pencari keadilan sebagai wujud dari penghayatan nilai perjuangan. Peradilan agama di era reformasi juga dituntut dapat mempertahankan existensi dan mengangkat wibawa peradilan agama di tengah masyarakat yang pesimis akan penerapan hukum dengan menjaga independensi dan transparansi peradilan.

Sebagai penutup, dengan semangat hari pahlawan 10 Nopember 2012 mari kita tumbuhkan jiwa menghargai jasa para pahlawan bangsa khususnya para pahlawan peradilan agama yang telah berjuang membawa peradilan agama menjadi bagian yang tak dipandang sebelah mata di republik ini, dan yang tak kalah pentingnya lagi sebagai pelaku kita berkewajiban melanjutkan perjuangan peradilan agama menjadi badan peradilan yang agung.


Pasti, Berakhlak, Bangga Melayani Bangsa